Minggu, 04 Oktober 2015

Pidana Zina dalam Fiqh Jinayah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Islam menetapkan bentuk-bentuk hukuman untuk suatu tindak kejahatan atau jinayah beradasarkan apa yang ditetapkan sendiri oleh Allah dalam wahyu-Nya dan penjelasan yang diberikan Nabi dalam haditsnya. Allah mengetahui dan Maha adil. Oleh karena itu, apapun bentuk sanksi hukuman yang ditetapkan Allah atas suatu kejahatan berdasarkan keadilan illahi yang bersifat universal. Adalah kewajiban umat Islam untuk memahami, mematuhi dan menjalankannya.[1]
Pada pembahasan kali ini, penulis hanya membahas mengenai hal Tindak Pidana Zina serta konsekuensi hukum terhadap zina tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa zina digolongkan pada jinayah hudud. Yang dimaksud dengan hudud adalah kejahatan/jinayah yang sanksi hukumannya ditetapkan sendiri secara pasti oleh Allah dan/atau Nabi. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah pencurian, perampokan, perzinaan, tuduhan zina tanpa bukti, minum-minuman keras, makar/pemberontakan dan murtad.
Islam begitu serius dalam menghadapi persoalan zina tersebut dan menepatkannya sebagai masalah sosial yang kejahatannya merusak tatanan sosial . pelakunya dinyatakan melakukan kejahatan terhadap umum atau public dan oleh karena itu, dituntut oleh penuntut umum yang mewakili masyarakat. Allah membuat aturan terhadap hambanya tentu dengan kemaslahatan yang cukup besar, apabila dikaitkan dengan bahaya zina terhadap pelakunya, maka sangat banyak akibat negative yang ditimbulkan oleh zina, namun tidak ada satupun dampak positifnya. Beberapa penyakit yang ditimbulkan akibat perbuatan zina, yaitu: AIDS, syphilis (raja singa), penyakit saluran alat vital (penyakit kelamin), dan chancroid/koci lembik.
Jika dilihat dari hukum nasional, maka tindak pidana zina terdapat dalam pasal-pasal yang telah dirangkum dalam sebuah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, pada BAB XIV KUHP tindak pidana zina digolongkan kepada Tindak Pidana Kesusilaan, yang pada dasarnya dirumuskan sebagai tindak pidana yang berhubungan dengan perilaku seksual. 

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan tindak pidana zina ?
2.      Bagaimana pembuktian terhadap tindak pidana zina ?
3.      Bagaimana hukuman/sanksi yang dikenakan terhadap tindak pidana zina ?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana zina.
2.      Untuk mengetahui cara pembuktinan terhadap tindak pidana zina.
3.      Untuk mengetahui hukuman/sanksi yang dikenakan terhadap tindak pidana zina.

BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN TINDAK PIDANA ZINA
Secara harfiyah, zina berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat hubungan perkawinan.[2] Oleh karenanya penyaluran nafsu syahwat (tindakan zina) diluar perkawinan tidak sesuai dengan cara yang ditentukan Islam dan oleh karena itu, perzinaan dilarang secara tegas dank eras oleh Islam. Ketegasan larangan ini terlihat dalam firman Allah dalam surat Al-Isra’ ayat 32:[3]
                                                            سَبِيلًا وَسَآءَ فَٰحِشَةً كَانَ إِنَّهُۥ ۖ ٱلزِّنَىٰٓتَقْرَبُوا۟ وَلَا
Artinya: “Janganlah kamu mendekati zina, karena ia adalah perbuatan kejidan cara yang paling buruk”.
Berdasarkan larangan yang bersifat tegas di atas maka tindakan zina (penyaluran syahwat di luar ikatan pernikahan) hukumnya adalah haram. Alasan Allah melarang perbuatan zina adalah karena perbuatan tersebut yang keji, maka untuk menyikapi hal tersebut, Allah telah menyiapkan carayang jauh lebih baik yaitu perkawinan/pernikahan.
Dasar hukum diharamkannya zina telah dijabarkan di atas, yang terdapat pada surat Al-Isra’ ayat 32. Di samping itu, dasar hukum perbuatan zina juga tercantum dalam beberapa hadits yang berdasarkan bahwa setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kecenderungan untuk berbuat zina. Di bawah ini merupakan salah satu hadits yang menjelaskan tentang zina:

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.Bahwasannya : Nabi SAW bersabda Allah SWT telah menentukan bahwa anak Adam cenderung terhadap perbuatan zina.Keinginan tersebut tidak dapat dielakkan,yaitu melakukan zina mata dalam bentuk pandangan,zina mulut dalam bentuk penuturan,zina perasaan melalui cita-cita dan keinginan mendapatkannya.Namun,kemaluanlah yang menentukan dalam berbuat zina atau tidak.[4]
            Dalam produk hukum nasional, konsep perzinahan diatur dalam Pasal 284 KHUP, yang dengan jelas merumuskan bahwa hubungan seksual di luar pernikahan hanya merupakan suatu kejahatan apabila pelaku atau salah satu pelakunya adalah orang yang telah terikat dalam perkawinan dengan orang lain. Hubungan seksual di luar perkawinan, antara 2 orang yang sama-sama lajang, sama sekali bukan merupakan tindak pidana perzinaan.[5] Hal ini tentu cukup bertentang dengan syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah.

B.     PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA ZINA
Ancaman hukuman/sanksi terhadap perbuatan zina baru dapat dilakukan apabila memang perzinaan tersebut telah terjadi dengan adanya bukti-bukti yang meyakinkan dan diyakini pula bahwa dalam hubungan kelamin tidak terdapat unsru-unsur kesamaran yang disebut dengan syubhat.[6] Maksudnya adalah, ketika hubungan kelamin terjadi secara tidak sengaja, seperti perkosaan. Dalam hal ini terdapat unsure paksaan dalam terjadinya hubungan kemalin tersebut, sehingga perbuatan ini tidak disebut dengan perzinaan.
Adapun pembuktian telah terjadinya perbuatan zina itu berlaku dengan cara-cara sebagai berikut:[7]
a.       Kesasksian empat orang saksi laki-laki muslim yang adil dan dapat dipercaya, keempatnya secara meyakinkan melihat langsung hubungan kelamin itu secara bersamaan. Bila tidak terpenuhi criteria tersebut maka tidak sah kesaksian tersebut. Hal ini termaktub dalam firman Allah surah An-Nur ayat 4:
هُمُ وَأُو۟لَٰٓئِكَ أَبَدًا شَهَٰدَةً لَهُمْ تَقْبَلُوا۟وَلَا جَلْدَةً ثَمَٰنِينَ هُمْولِدُفَٱجْشُهَدَآءَ بِأَرْبَعَةِ يَأْتُوا۟لَمْ ثُمَّ ٱلْمُحْصَنَٰتِ يَرْمُونَ وَٱلَّذِينَ   ۚٱلْفَٰسِقُون                                                                                                                              
Artinya: ”Orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik (melakukan perbuatan zina) dan     tidak dapat mendatangkan empat orang saksi deralah mereka 80 kali”.
          Ketentuan hukum ini disyari’atkan Allah dengan tujuan untuk membersihkan masyarakat dari kerusakan dan kekacauan, campur baurnya nasab, dekadensi moral, serta menjaga umat dari unsure-unsur yang membawa kepada hidup serba boleh dan kerusakan yang menyebabkan hilangnya keturunan dan lenyapnya harta benda dan kehormatan.[8]
b.      Pengakuan yang dilakukan oleh pasangan yang melakuan perzinaan, secara jelas dan bersungguh-sungguh dari orang-orang yang pengakuannya dapat dipercaya, seperti telah dewasa dan berakal sehat.
c.       Qarinah atau tanda dan isyarat yang meyakinkan seperti kehamilan janin seseorang perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan.
d.      Li’an; yaitu sumpah suami yang menuduh istrinya berzina dan tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, sebanyak empat kali dan kelima ucapannya bahwa laknat Allah akan menimpanya bila ia tidak benar dalam tuduhannya; kemudian sumpah li’an si suami itu tidak ditolak oleh istri dengan li’an dalik. Hal ini menjadi bukti bahwa perzinaan itu emang telah terjadi.
Pembuktian terjadinya zina dilakukan di depan hakim yang diajukan oleh penuntut umumyang mewakili masyarakat yang tercemar.

C.    HUKUMAN/SANKSI TERHADAP TINDAK PIDANA ZINA
Hukuman/sanksi bagi pelaku zina dapat diuraikan sebagai berikut:[9]
1.      Sanksi hukum bagi wanita dan/atau laki-laki yang berstatus pemudi dan/atau pemuda adalah hukuman cambuk 100 kali. Sebagaimana yang termaktub dalam surah An-Nur ayat- 2.
تُؤْمِنُونَ كُنتُمْ إِن ٱللَّهِ دِينِ فِى رَأْفَةٌ بِهِمَا تَأْخُذْكُم وَلَا ۖجَلْدَةٍ مِا۟ئَةَ مَامِّنْهُ وَٰحِدٍ كُلَّ فَٱجْلِدُوا۟وَٱلزَّانِى ٱلزَّانِيَةُ                                      .ٱلْمُؤْمِنِينَ مِّنَ طَآئِفَةٌ عَذَابَهُمَوَلْيَشْهَدْ ۖٱلْءَاخِرِ وَٱلْيَوْمِ ٱللَّهِابِ   
Artinya: “Pezina perempuan dan pezina laki-laki deralah masing-masingnya 100 kali dan janganlah kamu ambil kasihan dalam menegakkan agama Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir; dan hendaklah pelaksanaan hukumannya dipersaksiskan segolongan dari orang-orang beriman”.
2.         Dalam pelaksanaa cambuk tidak ada belas kasihan kepada pelaku zina serta eksekusinya disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
3.      Pelaksanaan hukuman cambuk bagi pezina pada poin 1 di atas, tidak boleh ada belas kasihan kepada keduanya yang mencegah kamu untuk menjalankan hukum Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir.
4.         Sanksi hukum bagi wanita dan/atau laki-laki yang berstatus janda dan/atau duda adalah hukuman rajam (ditanam sampai leher kemudian dilempari batu sampai meninggal). Dalam pelaksanaan hukuman rajam tidak ada belaskasihan kepada pelaku zina serta eksekusinya disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
Berdasarkan sanksi hukum di atas dapat disimpukan bahwa syari’at Islam tidak membedakan setiap orang, apakah ia seorang raja atau putra raja dan/atau hamba sahaya, kaya atau miskin, hitam atau putih.[10] Oleh karena itu, apabila seseorang telah terbukti melakukan perbuatan zina, maka akan dijatuhkan hukuman/sanksi seperti yang telah dijabarkan diatas.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
ü  Secara harfiyah, zina berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat hubungan perkawinan.
ü  Adapun pembuktian telah terjadinya perbuatan zina itu berlaku dengan cara-cara sebagai berikut: (a) Kesasksian empat orang saksi laki-laki muslim yang adil dan dapat dipercaya, keempatnya secara meyakinkan melihat langsung hubungan kelamin itu secara bersamaan, (b) Pengakuan yang dilakukan oleh pasangan yang melakuan perzinaan, secara jelas dan bersungguh-sungguh dari orang-orang yang pengakuannya dapat dipercaya, seperti telah dewasa dan berakal sehat,(c) Qarinah atau tanda dan isyarat yang meyakinkan seperti kehamilan janin seseorang perempuan yang tidak terikat dalam perkawinan. (d) Li’an; yaitu sumpah suami yang menuduh istrinya berzina.
ü  Hukuman/sanksi bagi pelaku zina dapat diuraikan sebagai berikut: (a) Sanksi hukum bagi wanita dan/atau laki-laki yang berstatus pemudi dan/atau pemuda adalah hukuman cambuk 100 kali.(b) Dalam pelaksanaa cambuk tidak ada belas kasihan kepada pelaku zina serta eksekusinya disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (c) Pelaksanaan hukuman cambuk bagi pezina pada poin 1 di atas, tidak boleh ada belas kasihan kepada keduanya yang mencegah kamu untuk menjalankan hukum Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir.(d) Sanksi hukum bagi wanita dan/atau laki-laki yang berstatus janda dan/atau duda adalah hukuman rajam (ditanam sampai leher kemudian dilempari batu sampai meninggal).

B.     SARAN
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengarapkan kritik/saran yang membangung dari pembaca. Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Ja’faar, Syeikh Yasir, Kemaksiatan Penghancur Rumah Tangga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,      2007.
Suma, Muhammad Amin, Pidana Islam di Indonesia, Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 2001.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kenacana, 2010.


[1] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 256.
[2] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 37.
[3] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 274.
[4] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal 40.
[5] Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, (Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 2001), hal. 183.
[6] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh ,(Jakarta:kencana,2010), hal. 276.
[7] Ibid., hal. 278.
[8] Syaikh Yasir Ja’far, Kemaksiatan Pengahncur Rumah Tangga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hal.    19-20.
[9] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 50.
[10] Ibid., hal. 50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar