BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Waris dalam bahasa Indonesia disebut
juga dengan pusaka. Maksudnya adalah harta, benda dan hak yang ditinggalkan
oleh orang yang mati (meninggal) untuk dibagikan kepada yang berhak
menerimanya. Dalam hal ini, orang yang meninggalkan harta bendanya disebut
sebagai pewaris, sedangkan orang yang menerima harta tersebut disebut dengan ahli
waris.
Pembagian waris ini lazim disebut faraidh, artinya menurut syara’ ialah pembagian
harta pusaka/warisan kepada beberapa orang ahli waris seperti yang tercantum
dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qias. Ketentuan bagian-bagian yang harus
diterima oleh pewaris telah diatur oleh Allah SWT, begitu juga halnya dengan
orang-orang yang berhak menerima warisan. Bagian-bagian yang diterima oleh
pewaris yang telah ditetapkan oleh Al-Quran yaitu: ½ (setengah), ¼
(seperempat), 1/8 (seperdelapan), 1/3 (sepertiga), 2/3 (duapertiga) dan 1/6
(seperenam). Orang-orang yang berhak menerima warisan dikelompokkan ke dalam
tiga kelompok, yaitu: ashabul furudh,
ashobah dan dzawil arham.
Pada pembahasan ini, penulis hanya
membahas tentang ashabah, yaitu orang
orang-orang yang mendapatkan sisa dari harta peninggalan simayit setelah ashabul furudh mengambil harta
bagian-bagian yang telah ditentukan bagi ashabul
furudh tersebut dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu enam
macam pembagian warisan sebagaimana yang dijabarkan di atas.
Tapaktuan,
Mei 2015
Penulis
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
permasalahan yang akan dibahas mencakup:
1.
Apakah yang dimaksud
dengan ashabah ?
2.
Bagaiamana
susunan ahli waris ashabah ?
3.
Bagaimana
pembagian ahli waris ashabah ?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mengetahui
pengertian ashabah.
2.
Untuk mengetahui
susunan ahli waris ashabah.
3.
Untuk mengetahui
pembagian ahli waris ashabah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ashabah
Ashabah
adalah orang-orang yang mendapatkan
sisa harta dari peninggalan simayit setelah ashabul
furud bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka dan pembagiannya
tidak ditetapkan dalam salah satu dari enam macam pembagian harta warisan yang
telah ditetapkan oleh Al-Quran. Singkatnya,
yang dimaksud dengan ashabah adalah keluarga
laki-laki yang dekat dari pihak ayah. Apabila tidak ada sisa harta dalam
setelah ashabul furudh menerima
bagiannya maka ashabah tidak
mendapatkan apa-apa.
Ahli waris ashabah ini harus menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah
ditentukan bagiannya, dan keistimewaaan ashabah ini ia dapat menghabiskan seluruh sisa
harta simayit, apabila ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah mengambil apa
yang menjadi hak-nya.[1]
Adapun bagian yang akan diperoleh oleh
ahli waris ashobah dapat terjadi
sebagai berikut:
1.
Mendapat seluruh
harta warisan si mayit, dengan syarat si mayit hanya meninggalkan ahli waris
dia sendiri.
2.
Berbagi sama di
antara para ashobah, apabila si mayit
meninggalkan beberapa ashobah yang
sederajat.
3.
Mendapat seluruh
sisa lebih dari ahli waris, apabila si mayit meninggalkan ahli waris yang
menurut ketentuan hukum mendapat bagian tertentu.
4.
Mendapat dua
bagian yang laki-laki dan yang perempuan mendapat satu bagian apabila di
dalamnya ada perempuan yang sederajat.
5.
Apabila harta
warisan sudah terbagi habis oleh ahli waris yang telah tertentu bagian, maka ashobah tidak mendapat bagian sama
sekali.
Berdasarkan penjabaran di atas, dapat
disimpulkan bahwa ahli waris ashabah menerima
harta warisan di antara dua, yaitu menerima seluruh harta warisan atau menerima
sisa harta setelah dibagikan kepada ahli waris ashabul furudh.
Dalil Al-Quran yang menyatakan bahwa
para ashabah mendapatkan harta waris
adalah surah An-nisa’ ayat 176:
نِصْفُ فَلَهَا أُخْتٌ وَلَهُ
وَلَدٌ لَهُ لَيْسَ هَلَكَ مْرُؤٌ ا إِنِ ۚ الْكَلَالَةِ فِي
يُفْتِيكُمْ اللَّهُ قُلِ
يَسْتَفْتُونَكَ ۚ تَرَكَ مِمَّا الثُّلُثَانِ
فَلَهُمَا اثْنَتَيْنِ كَانَتَا فَإِن ۚ وَلَدٌ لَّهَا يَكُن لَّمْ إِن يَرِثُهَا وَهُوَ
ۚ تَرَكَ مَا وَاللَّهُ ۗتَضِلُّوا أَن لَكُمْ
اللَّهُ يُبَيِّنُ ۗ الْأُنثَيَيْنِ حَظِّ مِثْلُ فَلِلذَّكَرِ ا وَنِسَاءً رِّجَالًإِخْوَةً
كَانُوا وَإِن عَلِيمٌ شَيْءٍ بِكُلِّ
Artinya:
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Pada
surah An-nisa’ ayat 176 di atas tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun,
yang disebutkan justru saudara kandung akan menguasai (mendapatkan bagian)
seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai
keturunan.[2]
B.
Susunan Ahli Waris Ashabah
Ahli waris yang masuk golongan ashabah ada 14 (empat belas) golongan, yaitu:[3]
1.
Anak laki-laki.
2.
Anak laki-laki
dari anak laki-laki (cucu laki-laki) terus ke bawah.
3.
Ayah.
4.
Datuk laki-laki
terus ke atas.
5.
Saudara laki-laki
kandung.
6.
Saudara
laki-laki se-ayah.
7.
Anak laki-laki
dari saudara laki-laki kandung.
8.
Anak laki-laki
dari saudara laki-laki se-ayah.
9.
Paman kandung.
10. Paman se-ayah.
11. Anak laki-laki dari paman laki-laki kandung.
12. Anak laki-laki dari paman laki-laki se-ayah.
13. Laki-laki yang memerdekakan.
14. Perempuan yang memerdekakan.
C.
Pembagian Ahli Waris Ashabah
1.
Ashabah Nasabiyah
Ashabah nasabiyah adalah ashabah
yang disebabkan karena adanya hubungan darah dengan sipewaris. Ashabah nasabiyah terbagi kepada tiga
yaitu:
a.
Ashabah bi
nafsih
ü Pengertian
Ashabah bi nafsih, yaitu orang yang menjadi ashabah disebabkan oleh dirinya sendiri, maksdunya adalah ashabah yang menjadi ashabah disebabkan karena kedudukannya. Ashabah bi nafsih merupakan semua
laki-laki yang nasabnya dengan orang yang meninggal tidak diselingi oleh
perempuan.[5]
ü Golongan dan cara pewarisannya
Ashabah bi nafsih dibagi ke dalam empat
golongan, yaitu:
·
Bunuwwah (keanakan)
dan disebut dengan juz-ul mayyit, meliputi:
anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) dan
seterusnya sampai ke bawah.
·
Ubuwwah (keayahan)
dan disebut dengan ashlul mayyit, jika
tidak didapatkan jihat bunuwwah[6], maka peninggalan
berpindah ke jihat ubuwwah[7] yang meliputi ayah
dan kakek shahih dan seterusnya sampai ke atas.
·
Ukhuwwah (kesaudaraan)
dan disebut dengan juz-‘ubabiih, bila
tidak ada jihat ubuwwah, maka
peniggalan atau sisanya itu berpindah ke ukhuwwah.
Ukhuwwah ini meliputi 1) saudara laki-laki kandung, 2) saudara laki-laki
se-ayah, 3) anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, 4) anak laki-laki dari saudara laki-laki se-ayah
dan seterusnya sampai ke bawah.
b.
Ashabah bi ghairih
ü Pengertian
Ashabah
bi ghairih adalah perempuan yang
bagiannya ½ (setengah) dalam keadaan sendirian dan 2/3 (dua pertiga) bila
bersama dengan seorang saudara perempuannya atau lebih. Ahli waris perempuan
dalam ashabah bi ghairih ini yakni:
anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan kandung dan saudara perempuan
se-ayah.[8]
ü Golongan dan cara mewarisi
Adapun keadaan yang menjadikan ahli
waris ashabah bi ghairih apabila:
·
Anak perempuan
seorang atau lebih atau bersama-sama menjadi ahli waris (ashabah bi ghairih) dengan seorang anak laki-laki atau lebih.
·
Cucu perempuan
dari anak laki-laki bersama-sama menjadi ahli waris (ashabah bi ghairih) dengan cucu laki-laki.
·
Dengan adanya
saudara laki-laki kandung maka saudara perempuan kandung menjadi ashabah bi ghairih.
·
Saudara
perempuan se-ayah menjadi ashabah bi
ghairih karena anak laki-laki se-ayah.
Pembagian antara
laki-laki dan perempuan dalam ashabah bi
ghairih adalah tetap 2:1 (dua banding satu); 2 (dua) untuk laki-laki dan 1
(satu) untuk perempuan. Meskipun dalam ashabah
bi ghairih terdapat persamaan kedudukan
antara ahli waris laki-laki dan ahli perempuan perempuan dalam ashabah (ashabah bi ghairih), namun dalam hal pembagian, tetpa menggunakan
perbandingan 2:1 (dua berbanding satu).
Dasar hukum mengenai
pembagian ahli waris laki-laki yang mendapatkan dua bagian dan ahli waris
perempuan mendapat satu bagian, sehingga dua berbanding satu, yaitu Surah
An-nisa’ ayat 11:
ۚ الْأُنثَيَيْنِ حَظِّ مِثْلُ لِلذَّكَرِ
ۖ أَوْلَادِكُمْ فِي اللَّهُ يُوصِيكُمُ
Artinya:
“Allah
mewajibakan kepada kamu tentang anak-anak kamu, bahwa bagian anak laki-laki
mendapat dua bagian anak perempuan”. (QS.
An-nisa’: 11)
c.
Ashabah ma’a ghairih
ü Pengertian
Ashabah ma’a ghairih adalah setiap perempuan yang memerlukan perempuan
lain untuk menjadi ashabah. Yang
menjadi ashabah ma’al ghairih ini
adalah saudara perempuan kandung, karena mewaris bersama dengan anak perempuan,
cucu perempuan, cicit perempuan dan seterusnya sampai ke bawah.[9]
ü Golongan dan cara mewaris
Golongan ashabah ma’a ghairih, menurut Dr. A. Hamid Sarong hanya terbagi
kepada dua bagian, yaitu:
-
Saudara
perempuan kandung atau saudara-saudara perempuan kandung bersama dengan anak
perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki.
-
Saudara
perempuan se-ayah atau saudara-saudara perempuan se-ayah bersama dengan anak
perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki.
Namun, menurut Drs. Sudarsono,
S.H.,M.Si. ahli waris yang termasuk golongan ashabah ma’a ghairih ada enam, yaitu:
-
Saudara
perempuan kandung seorang atau lebih bersama dengan seorang anak perempuan atau
lebih.
-
Saudara
perempuan se-ayah seorang atau lebih bersama dengan seorang anak perempuan atau
lebih.
-
Saudara
perempuan se-ayah seorang atau lebih bersama dengan seorang atau beberapa orang
cucu perempuan dari anak laki-laki.
-
Saudara
perempuan kandung seorang atau lebih bersama seorang anak perempuan dan seorang
cucu perempuan.
-
Saudara
perempuan se-ayah seorang atau lebih bersama dengan anak perempuan dan cucu
perempuan dari anak laki-laki.
ü Contoh
Seseorang meninggal dunia dan
meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan dan saudara laki-laki se-ayah,
maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Keterangan
|
Jumlah Bagian
|
2
|
Anak Perempuan
|
½
|
1
|
Saudara
Perempuan kandung ashabah ma’a ghairih
|
½
|
1
|
Saudara
laki-laki se-ayah
|
Gugur
|
0
|
Keterangan:
Bagian anak perempuan adalah ½
(setengah) fardh, dan sisanya
merupakan bagian saudara banding perempuan disebabkan ia menjadi ashabah ma’a ghairih, yang kekuatannya
seperti saudara laki-laki kandung. Sedangkan saudara laki-laki se-ayah
terhalang karena saudara perempuan kandung menjadi ashabah.
2.
Ashabah
Nasabiyah
Ashabah
nasabiyah adalah ahli waris yang
menjadi ashabah dikarenakan adanya
suatu sebab, sebab yang dimksud adalah karena ada perbuatan memerdekakan si
mayat dari perbudakan (saat ini tidak ada lagi ditemui).[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ø Ashabah adalah orang-orang yang mendapatkan sisa harta dari
peninggalan simayit setelah ashabul furud
bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka dan pembagiannya tidak
ditetapkan dalam salah satu dari enam macam pembagian harta warisan yang telah
ditetapkan oleh Al-Quran. Singkatnya,
yang dimaksud dengan ashabah adalah
keluarga laki-laki yang dekat dari pihak ayah. Dalil mengenai ashabah terdapat dalam surah An-nisa’
ayat 176.
Ø Ahli waris yang masuk golongan ashabah ada empat belas golongan, yaitu: Anak laki-laki, anak
laki-laki dari anak laki-laki (cucu laki-laki) terus ke bawah, ayah, datuk
laki-laki terus ke atas, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki se-ayah,
anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, anak laki-laki dari saudara
laki-laki se-ayah, paman kandung, paman se-ayah, anak laki-laki dari paman
laki-laki kandung, anak laki-laki dari paman laki-laki se-ayah, laki-laki yang
memerdekakan, perempuan yang memerdekakan.
Ø Ahli waris ashobah
dibagi kedalam dua bagian, yaitu: ashabah
nasabiyah dan ashobah sababyiah.
Ashabah nasabiyah dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: ashabah bi nafsih, ashabah bi ghairih dan ashabah ma’a ghairih.
B.
Saran
Mungkin hanya inilah yang dapat diwacanakan pada makalah ini,
meskipun makalah ini jauh dari sempurna, minimal penulis telah
mengimplementasikan tulisan pada makalah ini. Penulis sadari bahwa makalah ini
masih banyak kesalahan pada penulisannya, untuk itu penulis sangat membutuhkan
saran dari pembaca sebagai motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada
masa sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Hamid
Sarong, dkk. Fiqh, Banda Aceh: Bandar
Publishing, 2009.
Ibnu, Rusyd. Tarjamah Bidayatu’l-Mujtahid, Semarang:
As-Syifa, 1990.
Mohammad, Rifa’i.
Ilmu Fiqh Islam Lengkap, Semarang:
Toha Putra, 1978.
Muhammadi,
Ali Ash-shabuni, Hukum waris Dalam Islam,
Depok: Palapa Alfa Utama, 2013.
Sudarsono.
Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta:
Rineka cipta, 2001.
Surahwardi
K. Lubis, dan Simanjuntak Komis. Hukum
Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
[1] Surahwardi K. Lubis dan Komis simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004), hal. 96.
[2]
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris
Dalam Islam, (Depok: Palapa Alta Utama, 2013), hal. 62.
[3] Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: Cv Toha Putra, 1978), hal.
518-519.
[4]
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2001), hal. 317.
[5]
A. Hamid Sarong, Rukiyah, dkk, Fiqh, (Banda
Aceh: Bandar Publishing, 2009), hal. 246.
[6] Jihat
Bunuwwah, yakni anak laki-laki dari orang yang meninggal dan keturunannya
terus ke bawah, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki, mulai
cucu, cicit dan seterusnya.
[7] Jihat
Ubuwwah, atau arah bapak, meliputi ayah, kakek dari ayah dan keturunannya
(bila ayah telah tiada), dan seterusnya ke atas asal dipertalikan oleh
laki-laki.
[8]
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 326.
[9] Surahwardi K. Lubis dan Komis simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), hal. 97.
[10]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar