Minggu, 04 Oktober 2015

Makalah Fasakh Pada Fiqh Munakahat II



FASAKH
A.    DEFINISI FASAKH
Fasakh disebut juga dengan batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan. Yang dimaksud dengan menfasakh nikah adalah membatalkan atau memutuskan ikatan hubungan antara suami dan istri.[1]
Menurut Amin Syarifuddin, fasakh berarti putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada isteri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan.[2]
Hikmah boleh dilakukannya fasakh itu adalah memberikan kemaslahatan kepada umat manusia yang sedang dan telah menempuh hidup berumah tangga. Dalam masa perkawinan itu mungkin ditemukan hal-hal yang tidak memungkinkan keduanya mencapai tujuan perkawinan, yaitu kehidupan mawaddah, warahmah, dan sakinah, atau perkawinan ituakan merusak hubungan antara keduanya. Atau dalam masa perkawinannya itu ternyata bahwa keduanya mestinya tidak mungkin melakukan perkawinan, namun kenyataannya telah terjadi. Hal-hal yang memungkinkan mereka keluar dari kemelut itu adalah perceraian.[3]
Salah satu bentuk terjadinya fasakh adalah adanya pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan. Bentuk ini disebut dengan syiqaq. Ketentuan tentang syiqaq dapat ditemukan dalam firman Allah pada surat An-Nisa’ ayat 35:
 الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Artinya: “Jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufiq kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[4]

B.     SYARAT-SYARAT FASAKH
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau kerena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan. Berikut adalah penjabarannya:[5]
1.    Fasakh (batalnya perkawinan), karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah. a) Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan pihak suami, b) Suami istri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain ayah atau datuknya. Kemudian setelah dewasa, ia berhak memutuskan untuk meneruskan atau mengakhiri perkawinannya.
2.    Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.
a)      Bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari agama islam dan tidak mau kembali sama sekali ke agama Islam, b) jika suami yang tadinya kafir masuk islam, tetapi istri masih tetap dalam kekafirannya yaitu tetap menjadi musyrik, maka akadnya batal (Fasakh).
Ø  Sebab-sebab terjadinya Fasakh (batalnya perkawinan):
1.      Karena ada balak (penyakit belang kulit)
2.      Karena gila
3.      Karena Kusta
4.      Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, dan lain sebagainya.
5.      Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan( bersetubuh).
6.      Karena ‘Anah (zakar laki-laki impoten, tidak hidup untuk jima’) sehingga tidak dapat mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah.
Disamping itu, fasakh bisa terjadi oleh sebab-sebab berikut:[6]
a.       Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya, umpamanya : Budak dengan merdeka, orang pezina dengan orang terpelihara dan sebagainya.
b.      Suami tidak mau memulangkan istrinya, dan tidak pula memberi belanja sedangkan istrinya tidak rela.
c.       Suami miskin, setelah jelas kemiskinannya oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak sanggup lagi memberi nafkah, baik pakaian yang sederhana, tempat ataupun maskawinnya belum dibayarkannya sebelum campur.

C.    DASAR HUKUM FASAKH
Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan tidak pula dilarang; namun bila melihat kepada keadaan dan bentuk tertentu hukumnya sesuai dengan keadaan dan bentuk tertentu.[7]
Yang dimaksud keadaan tertentu di atas adalah terdapatnya beberapa factor yang membolehkan untuk melakukan fasakh, diantaranya: syiqaq (pertengkaran antara suami istri yang tidak mungkin didamaikan), fasakh karena cacat, fasakh karena ketidakmampuan suami member nafkah, fasakh karena suami meninggalkan tempat tetapnya dan pergi entah kemanadalam jangka waktu yang sudah lama, dan fasakh karena melanggar perjanjian dalam perkawinan.
Terdapat beberapa hadits yang dijadikan tempat berpijaknya dasar hukum fasakh dalam perkawinan,namun pada makalah ini, penulis hanya mengutip satu hadits yang diriwayat oleh H.R Ahmad, yaitu:
عن جميل بن زيد بن كعب أن رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوج إمرأة من بني غفار فلما دخل عليها فوضع ثوبه وقعد على الفراش أبصر بكشجها بياضا فنحاز عن الفراش ثم قال خذى عليك ثيابك ولم يأخذ مما أتاها شيئا. {رواه أحمد}

Dari jamil bin Zaid bin Ka’ab r.a bahwasannya Rosulullah SAW pernah menikahi seorang perempuan bani gafar, maka tatkala ia akan bersetubuh dan perempuan itu telah yang meletakkan kainnya, dan ia duduk di atas pelaminan, kelihatannya putih (balak) dilambungnya lalu ia berpaling (pergi dari pelaminan itu) seraya berkata, “ambillah kain engkau, tutupilah badan engkau, dan beliau telah mengambil kembali barang yang telah diberikan kepada perempuan itu.” (HR. Ahmad).[8]


D.    AKIBAT HUKUM FASAKH
Akibat hukum yang ditimbulkan akibat putusnya perkawinan secara fasakh adalah suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya selama istrinya masih menjalani masa iddah, hal ini disebabkan karena perceraian yang terjadi secara fasakh ini berstatus ba’in sughra. Apabila mantan suami dan mantan istri berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya kembali, mereka harus melakukan akad nikah yang baru, baik dalam waktu mantan istri sedang dalam masa iddah maupun setelahnya.
Akibat yang lain dari fasakh itu adalah tidak mengurangi bilangan thalaq. Hal ini menunjukkan bahwa hak si suami untuk men-thalaq istrinya maksimal adalah tiga kali, maka tidaklah berkurang dengan adanya fasakh. Dalam bahasa sederhana, fasakh boleh terjadi bekali-kali tanpa batas.[9]
Pada dasarnya fasakh itu dilakukan oleh hakim atas permintaan dari suami atau dari istri. Namun adakalanya fasakh itu terjadi dengan sendirinya tanpa memerlukan hakim, seperti suami istri ketahuan senasab atau sepersusuan.[10]
 
E.     AKIBAT HUKUM SETELAH TERJADI FASAKH
Akibat hukum yang ditimbulkan setelah terjadi fasakh adalah hukum thalaq ba’in sughra, dimana si suami boleh melanjutkan perkawinannya kembali dengan mantan istrinya dengan akad nikah yang baru tanpa memerulukan muhallil, baik dalam masa iddah si istri maupun tidak.
Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setelah terjadinya pemutusan perkawinan secara fasakh, maka tidak dikenai hukum thalaq raj’i dan tidak pula dikenai thalaq bid’iy. hal ini disebabkan karena apabila thalaq raj’i, si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melakukan nikah yang baru, sedangkan pada fasakh, si suami boleh kembali dengan mantan istrinya harus dengan akad yang baru.
Begitu pula halnya dengan thalaq bid’iy, yaituthalaq yang dijatuhkan ketika istri dalam keadaan berhadats, hal ini sebenarnya adalah hal yang dilarang dalam agama Islam, sehingga apabila hal ini terjadi maka wajib hukumnya bagi suami untuk ruju’ kembali dengan istrinya. Sedangkan pada fasakh, tidak adanya ketentuan yang demikian, karena fasakh memerlukan akad baru dalam hal melanjutkan ikatan perkawinan antara suami dan mantan istrinya.
 
KESIMPULAN
ü  Fasakh disebut juga dengan batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan. Yang dimaksud dengan menfasakh nikah adalah membatalkan atau memutuskan ikatan hubungan antara suami dan istri.
ü  Hikmah boleh dilakukannya fasakh itu adalah memberikan kemaslahatan kepada umat manusia yang sedang dan telah menempuh hidup berumah tangga.
ü  Sebab-sebab terjadinya Fasakh (batalnya perkawinan):
1.      Karena ada balak (penyakit belang kulit).
2.      Karena gila.
3.      Karena Kusta.
4.      Karena ada penyakit menular, seperti sipilis, TBC, dan lain sebagainya.
5.      Karena ada daging tumbuh pada kemaluan perempuan yang menghambat maksud perkawinan( bersetubuh).
6.      Karena ‘Anah (zakar laki-laki impoten, tidak hidup untuk jima’) sehingga tidak dapat mencapai apa yang dimaksudkan dengan nikah.
ü  Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan tidak pula dilarang; namun bila melihat kepada keadaan dan bentuk tertentu hukumnya sesuai dengan keadaan dan bentuk tertentu.
ü  Akibat hukum yang ditimbulkan akibat putusnya perkawinan secara fasakh adalah suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya selama istrinya masih menjalani masa iddah, hal ini disebabkan karena perceraian yang terjadi secara fasakh ini berstatus ba’in sughra.
ü  Akibat hukum yang ditimbulkan setelah terjadi fasakh adalah hukum thalaq ba’in sughra, dimana si suami boleh melanjutkan perkawinannya kembali dengan mantan istrinya dengan akad nikah yang baru tanpa memerulukan muhallil, baik dalam masa iddah si istri maupun tidak.
ü  Setelah terjadinya pemutusan perkawinan secara fasakh, maka tidak dikenai hukum thalaq raj’i dan tidak pula dikenai thalaq bid’iy.

DAFTAR PUSTAKA
Ghozali, Abdul Rahman , Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2008.
Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2010.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011.


[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 142.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 197.
[3] Ibid., hal. 244.
[4] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 133-134.
[5] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hal142-143.
[6] Ibid., hal. 148.
[7] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 244.
[9] Op Cit., hal. 253.
[10] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 135.

1 komentar:

  1. nano titanium ionic straightening iron - Stainless Steel - Titanium Art
    Stainless Steel Titanium Iron. It was made by the Tipe Iron 슬롯 Manufacturer, Pautomotive Manufacture and Supply Company. It is a titanium uses solid stainless steel $10.00 titanium tubing · ‎In 1xbet 먹튀 stock ti89 titanium calculators

    BalasHapus