PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Peradilan Agama , keberadaannya telah
ada jauh sebelum kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Ia telah mengalami
pasang surut baik dari segi penamaan, status dan kedudukan, maupun
kewenangannya. Sampai pada masa Orde Baru, peradilan agama belum menjadi
peradilan yang mandiri. Peradilan agama yang masih berada di bawah bayang-bayang
kekuatan eksekutif.[1]
Reformasi berasal dari kata “re” dan
“formasi”. “Re” yang berarti “kembali” dan “Formasi” yang berarti susunan.
Reformasi berarti pembentukan atau penyusunan kembali.[2]
Berdasarkan pengertian tersebut, reformasi sesungguhnya bisa bermakna perubahan
atau pembaharuan menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik. Dalam arti
pembaharuan, reformasi bisa dipadankan dengan beberapa kata dalam wacana Islam,
yang secara substansi memiliki kesamaan dengan reformasi, yakni tajadid, yaitu membangun kembali dan islah, yaitu memperbaiki.[3]
Tahapan akhir dari babak sejarah bangsa
Indonesia, yang sedang berjalan saat ini adalah Era Reformasi. Era Reformasi
dimulai pada tanggal 20 Mei 1998, ketika demonstrasi mahasiswa di seluruh
Indonesia yang menuntut dilakukannya reformasi di segala bidang untuk mengatasi
kondisi bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis multi dimensi.[4]
Salah satu reformasi yang dituntut pada Era
Reformasi ini adalah reformasi bidang hukum, termasuk dalam bidang peradilan
yang telah terjadi di Indonesia selama ini. Lemahnya penegakan hukum dan
munculnya berbagai isu tentang berbagai praktek yang tidak benar dalam
pelaksanaan penegakan hukum dan keadilan di lembaga peradilan telah menyebabkan
buruknya citra peradilan di mata sebahagian masyarakat Indonesia dan masyarakat
Internasional.[5]
Seiring dengan hal itu, peradilan
agamapun mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik menyangkut status dan
kedudukan, maupun kewenangannya, dengan mengikuti paradigma separation of power, status dan
kedudukan Peradilan Agama kemudian dilepaskan dari baying-bayang eksekutif
yakni Departemen Agama, untuk selanjutnya dimasukkan dalam satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung
bersama dengan badan peradilan lainnya. Dari segi kewenangannyapun peradilan
agama di era reformasi mendapatkan kewenangan baru, yakni mengadili sengketa
yang terkait dengan bidang; zakat, infaq, sedekah serta ekonomi syariah.[6]
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana
penataan Peradilan Agama pada masa Reformasi ?
2.
Apakah dasar
hukum dan kewenangan Peradilan Agama ?
3.
Bagaimana
kedudukan Peradilan Agama dan UU No 35 Tahun 1999 dan UU No 4 Tahun 1974 ?
4.
Bagaimana
eksistensi Peradilan Agama/Mahkamah Syariah pasca penyatu atapan ke Mahkamah
Agung ?
C.
TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui
penataan Peradilan Agama di Indonesia pada masa reformasi.
2.
Untuk mengetahui
dasar hukum dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui
kedudukan Peradilan Agama dan UU No 35 Tahun 1999 dan UU No 4 Tahun 1974.
4.
Untuk mengetahui
eksistensi Peradilan Agama/Mahkamah Syariah pasca penyatu atapan ke Mahkamah
Agung.
BAB
II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN
SINGKAT PERADILAN AGAMA DI INDONESIA
A.
PENATAAN PENGADILAN AGAMA PADA MASA REFORMASI
Terdapat beberapa pengertian mengenai
peradilan, namun pada kesempatan kali ini, penulis hanya menuliskan pengertian
menurut Mahadi, peradilan didefinisikan sebagai “suatu proses yang berakhir
dengan memberikan keadilan dalam suatu putusan”.[7]
Jika kata peradilan disatukan dengan kata agama, maka pengertian peradilan
agama adalah “kekuasaan Negara dalam hal memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara tertentu atar orang-orang yang Beragama Islam
untuk menegakkan hukum dan keadilan”.[8]
Dalam kekuasaan kehakiman Indonesia,
posisi badan Peradilan Agama di era reformasi sudah sejajar dengan badan-badan
peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung. Hal ini terjadi ketika tahun 1999
lahir Undang-Undang No 35 tentang perubahan atas Undang-Undang No 14 Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.[9]
Pada era reformasi ini telah terjadi
beberapa perubahan dan upaya untuk melakukan dan penataan Peradilan Agama.
1.
Penyatuatapan
peradilan Agama ke bawah Mahkamah Agung
Gerakan reformasi, selain berhasil merespon
hal-hal terkait dengan persoalan politik, juga telah berhasil merespon tuntutan
atas pembenahan hukum dan lembaga peradilan. Pentingnya pembenahan hukum dan
peradilan, mengingat pada masa Orde Baru banyak terjadi penyimpangan yang
dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan aparatur hukum, sehingga akibatnya hukum
tidak bisa tegak karena peradilannya korup (judicial
corruption). Karena itu, setengah gerakan reformasi berhasil, isu seputar
indenpendensi kekuasaan kehakiman menggema.[10]
Penerapan peradilan satu atap di Indonesia,
dimaksudkan untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek reformasi (varibel independent). Hal ini didasarkan
pada hipotesis bahwa, hukum sebagai sarana yang didayagunakan sebagai alat
untuk mempercepat evolusi.[11]
Upaya yang dilakukan dalam rangka
reformasi di bidang hukum dan peradilan adalah keluarnya UU No 35 Tahun 1999
yang merubah beberapa pasal UUNo 14 Tahun 1970. Perubahan tersebut terutama
menyangkut pengawasan dan pembinaan hakim yang diatur dalam UU No 14 Tahun
1970.[12]
UU No 14 Tahun 1970 menentukan bahwa
badan-badan peradilan yang ada di Indonesia, secara teknis peradilan di bawah
kekuasaan dan pengawasan serta pembinaan oleh Mahkamah Agung dan secara
oraganisatoris, administrative dan financial berada di bawah Deptemen
measing-masing. Selanjutnya, dalam UU khusus yang mengatur masing-masing
lingkungan peradilan ditegaskan Departemen masing-masing yang dimaksud UU No 14
TAhun 1970 ini. Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah
Departemen Kehakiman. Peradilan Agama berada di bawah Departemen Agama dan
Peradilan militer berada di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan.[13]
Ketentuan tersebut di atas dirubah oleh
UU No 35 Tahun 1999. Menurut UU ini seluruh urusan peradilan (teknis peradilan,
organisator, administratif dan financial) semuanya berada di bawah kekuasaan,
pengawasan dan pembinaan Mahkamah Agung. Dengan adanya ketentuan baru ini
diharapkan hakim/lembaga peradilan dapat melaksanakan tugasnya menegakkan hukum
dan keadilan lebih mandiri, bebas dari campur pihak-pihak di luar pengadilan,
terutama oleh pihak eksekutif.[14]
Dengan adanya pemindahan kewenangan
bidang empat hal yang disebutkan di atas berdasarkan UU No 4 Tahun 2004, maka
pembinaan bidang teknis yustisial dan nonyustisial lembaga peradilan, telah
berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Pemindahan kewenangan di
bidang organisasi meliputi kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan dan struktur
organisasi pada semua badan peradilan. Adapun yang dimaksud dengan pemindahan
kewenangan di bidang administrasi meliputi kepegawaian, kekayaan Negara,
keuangan, arsip, dan dokumen termasuk dari financial masing, masing
instansi/departemen, beralih satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.[15]
B.
DASAR HUKUM DAN WEWENANG PERADILAN AGAMA
Pada Era Reformasi ini keberadaan Peradilan
Agama selain didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang telah ada
sebelumnya (pada Masa Orde Baru) juga terdapat beberapa peraturan Perundang-Undangan
yang menjadi dasar hukum keberadaan Peradilan Agama atau kewnangan Peradilan
Agama. Peraturan Perundang-Undangan tersebut adalah: (1) UU nomor 35 tahun 1999
tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman
di Indonesia, (3) UU Nomor 18 Tahun Tahun 2001 tentangPembentukan Mahkamah
Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (4) Kepres RI Nomor 21 Tahun 2004
tentangPengalihan Organisasi, Administari dan Finansial di lingkungan Peradilan
Umum,Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung, (5) Undang-Undang
Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 1989 tenatang Peradilan Agama.[16]
Peradilan Agama adalah salah satu badan
peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan
keadilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Secara yuridis formal, yuridis
Peradilan Agama diatur Islam. Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama
hanya berwenang menyelesaikan perkara; perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No 3 Tahun
2006, menandai lhirnya paradigm baru peradilan agama.[17]
Paradigma baru tersebut menjelaskan
bahwa; “Peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat perncari keadilan yang beragama Islam mengenai ‘perkara tertentu’
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Kata-kata “perkara tertentu”
merupakan hasil perubahan terhadap kata “perkara perdata tertentu” sebagaimana
yang disebut dalam UU No 7 Tahun 1989.
Dengan adanya penegasan tentang
perluasan kewenangan peradilan agama tersebut, juga dimaksudkan untuk
memberikan dasar hukum kepada peradilan agama dalam menyelesaikan perkara
tertentu. Termasuk atas pelanggaran atas undang-undang tentang perkawinan dan
peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah
dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah
berdasarkan qanun.[18]
Meskipun UU No. 3 Tahun 2006 merupakan
perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989. Akan tetapi, status peraturan
perundang-undangan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini. Hal ini seperti dinyatakan dalam salah satu pasalnya, yakni;
“Pada ssaat undang-undang ini mulai
berlaku peraturan perundang-undang pelaksana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
belum diganti berdasarkan undang-undang ini”.[19]
Adapun tentang kewenangan peradilan
agama secara spesifik diatur dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006. Pasal 49 huruf
(a) ditentukan kewenangan pengadilan agama di bidang perkawinan. Adapun yang
dimaksud dalam perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan UU
mengenai perkawinan yang dilakukan menurut syariah.[20]
C.
KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA DAN UU NOMOR 35 TAHUN 1999
DAN UU NOMOR 4 TAHUN 2004
Di Era Reformasi, eksistensi Peradilan Agama
mencapai puncak kekokohannya pada tahun 2001, saat disepakatinya perubahan
ketiga UUD 1945 olehMajelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam Pasal 24 UUD 1945
hasil amandemen, secara ekspilit dinyatakan bahwa, lingkungan peradilan agama
disebutkan sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia,
bersama lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah agung.[21]
Sebagaimana yang telah dijabarkan pada pembahasan A
dan B, dapat disimpulkan bahwa perjalanan peradilan agama begitu panjang dalam
sejarah hukum dan peradilan di Indonesia, terakhir kalinya hal yang paling
menggembirakan adalah pada tanggal 21 Maret 2006 telah disahkan UU No. 3 Tahun
2006, merupakan perubahan atasUU No. 7 Tahun 1989 tentangPeradilan Agama.
Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tersebut, maka semakin kokohlah kekuasaan
dan kewenangan peradilan agama.[22]
Dengan demikian, kedudukan peradilan agama di era
reformasi ini selain sudah semakin kuat kedudukannya juga telah mengalami
pengembangan kelembagaan, salah satunya menyangkut pengembangan pengadilan
agama di Nanggroe Aceh Darussalam.
Selain itu, secara yuridis formal
tentang kedudukan peradilan agama pada era reformasi disebutkan dalam UU No. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU NO. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa; “Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota
kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Dan
pengadilan tinggi berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah provinsi”.[23]
Hal lain yang penting dalam kedudukan
peradilan agama di era reformasi adalah dalam hal pembinaan. Dalam UU No. 3
Tahun 2006 disebutkan, bahwa pembinaan teknis peradilan, oraganisasi,
administrasi, dan financial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pembinaan
teknis ini lebih mengacu pada penerapan hukum acara dalam peradilan yang
bersangkutan dan penerapan segala peraturan yang berlaku menyangkut suatu perkara
tertentu.[24]
D.
EKSISTENSI PERADILAN AGAMA/MAHKAMAH SYARIAH PASCA
PENYATUATAPAN KE MAHKAMAH AGUNG
Penyatuatapan Peradilan Agama adalah
bermakna penyatuan pengurusan (pengawasan dan pembinaan) segala urusan
peradilan Agama ke bawah Mahkamah Agung. Dengan adanya penyatuatapan ini, maka
urusan pembinaan dan teknis peradilan, urusan organisasi, administrasi dan
financial Peradilan Agama menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Penyatuatapan ini
juga akan memberikan Peradilan Agama kedudukan yang sejajar dan sederajat dengan
peradilan lainnya.
Sesuai
dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang terakhir telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Di mana ditetapkan empat lingkungan Peradilan di Indonesia,
yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Militer.
Semula
berdasarkan berdarkan PP No. 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah di provinsi Aceh yang kemudian diubah oleh PP No. 45 Tahun
1957 tentangPembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan
Madura, nama Pengadilan Agama adalah Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama,
sedang untuk Pengadilan Tinggi Agama adalah Mahkamah Syariah Provinsi.[25]
Mahkamah
Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah provinsi Aceh sekarang, merupakan lembaga
peradilan yang menurut UU No. 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi provinsi Daerah
Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dibentuk untuk “menjalankan Peradilan Syariat Islam di Provinsi
NAD sebagai bagian dari Sistem PEradilan Nasional”. Undang-Undang ini
menyatakan bahwa kewenangan lembaga baru ini didasarkan pada syariat Islam
dalam sistem hukum nasional yang akan diatur dalam qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini juga
menegaskan bahwa kewenangan ini hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.[26]
Akhirnya
dapat disimpulkan bahwa eksistensi Peradilan Agama pasca Penyatuatapan ini,
menjadi lebih kuat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bila selama ini
Peradilan Agama masih merasakan diskriminasi dan kekurangan disbanding
peradilan-peradilan lain, maka pada era reformasi ini diharapkan Peradilan
Agama dapat berkembang sejalan dan sama dengan peradilan-peradilan lain, yang
sama-sama berada di bawah satu atap yaitu Mahkamah Agung.[27]
BAB
III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Pada masa Era Reformasi telah terjadi beberapa upaya
untuk melakukan dan penataan Peradilan Agama. Diantaranya adalah penyatuatapan
peradilan Agama ke bawah Mahkamah Agung. Penyatuatapan ini ditegaskan dan
diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Peradilan Agama sekarang memiliki
kewenangan di bidang perkawinan. Kewarisan, wasiat, hibah, infak, shadakah,
zakat dan ekonomi Islam.
Kewenangan Pengadilan Agama di lingkungan Peradilan
Agama berdasarkan Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 yang disahkan pada Tahun 2006
adalah meliputi: (1) Perkawinan, (2) Kewarisan,Wasiat dan Hibah, (3) Infaq dan
Shadakah dan (4) Ekonomi Islam, selain itu kewenangan Mahkamah Syari’ah yang
khusus di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam meliputi: (a) Ahwal as-Syakhsiyyah,
(b) Mu’amalah dan (4) Jinayah.
Pasal 3 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 menegaskan
bahwa semua peradilan yang ada di seluruh Republik Indonesia adalah Peradilan Negara.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut maka Peradilan Agama
mempunyai kedudukan yang kuat. Peradilan Agama diakui sebagai salah satu
lingkungan Peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di bawah
Mahkamah Agung.
Eksistensi Peradilan Agama pasca penyatuatapan menjadi lebih kuat dibandingkan dengan
masa-masa sebelumnya. Bila selama ini, Peradilan Agama merasakan diskriminasi
dan kekurangan disbanding peradilan-peradilan lain, maka pada era reformasi ini
diharapkan Peradilan Agama dapat berkembang sejalan dan sama dengan
peradilan-peradilan lain, yang sama-sama berada di bawah satu atap yaitu
Mahkamah Agung.
B.
SARAN
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
sangatlah jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengarapkan
kritik/saran yang membangung dari pembaca. Terimakasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Aripin,
Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai
Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2008.
Asasriwarmi,
Peradilan Agama di Indonesia, Padang:
Hayfa Press, 2008.
Daud,
Mohammad, Hukum Islam dan Peradilan
Agama, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Djalil,
A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2006.
[1]
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam
Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.13.
[2]
Ibid, hal. 39.
[3]
Ibid, hal. 40.
[4]
Asasriwarmi, Peradilan Agama di Indonesia,
(Padang: Hayfa Press,2008), hal
83.
[5]
Ibid.
[6]
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam
Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 14.
[7] Ibid, hal. 252.
[8] Ibid, hal 254.
[9] Ibid, hal. 250.
[10] Ibid, hal. 292.
[11] Ibid, hal. 293.
[13]
Ibid, hal. 84.
[14]
Ibid, hal. 85.
[15]
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam
Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.296.
[16]
Asasriwarmi, Peradilan Agama di Indonesia,
(Padang: Hayfa Press,2008), hal. 88.
[17]
Ibid, hal. 343.
[18] Ibid.
[19] Ibid, hal. 343-344.
[20] Ibid, hal. 344-345.
[21]
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam
Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 313.
[22]
Ibid.
[23] Ibid, hal. 314.
[24] Ibid, hal. 315.
[25] Ibid, hal. 166.
[26] Ibid, hal. 166-167.
Kok difootnotenya nggk ada basiq djalil?
BalasHapus