Minggu, 04 Oktober 2015

Makalah Tafsir Ahkam pembahasan Hukuman Zina



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam menetapkan bentuk-bentuk human untuk tindak kejahatan berdasarkan apa  yang ditetapkan sendiri oleh Allah dalam wahyu-Nya dan penjelasan yang diberikan Nabi dalam haditsnya. Oleh karena itu, apapun bentuk sanksi hukuman yang ditetapkan Allah atas suatu kejahatan berdasarkan keadilan Illahi yang bersifat universal. Maka dari itu, umat Islam mempunyai kewajiban untuk memahami, mematuhi dan menjalankannya.
Pada pembahasan ini, penulis hanya membahaas mengenai hukum perzinaan yang telah diatur dalam firman Allah Qur’an surah. An-nur ayat 1 sampai 3. Surat An-nur merupakan surat madaniyah. Disamping itu surat An-nur juga mengatur tentang berbagai macam hukuman yang dapat dijatuhi terhadap pelaku perzinaan. Seperti : dirajam, dicambuk, dan diasingkan keluar kampung. Dalam hal ini hukuman bagi pelaku zina tergantung pada pelakunya sendiri.
Islam menempatkan persoalan zina sebagai masalah sosial yang kejahatannya merusak tatanan sosial. Pelakunya dinyatakan melakukan kejahatan terhadap umum atau public, sehingga merupakan perbuatan yang dapat dihukum. Allah membuat aturan terhadap hambanya tentu dengan kemaslahatan yang cukup besar, apabila dikaitkan dengan bahaya zina terhadap pelakunya, maka sangat banyak akibat negatif yang ditimbulkan oleh zina, namun tidak ada satupun dampak positifnya.



B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas permasalahan yang akan dibahas mencakup:
1.      Bagaimana kandungan hukum dalam Qur’an Surah An-nur ayat 1sampai 3 ?
2.      Apa jenis hukuman bagi pelaku zina terhadap orang yang sudah dan belum menikah ?
3.      Apa hikmah menikah bagi orang yang berzina ?
4.      Apa hikmah hukuman cambuk terhadap pelaku zina ?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui makna dan penjelasan yang terkandung dalam Qur’an Surah An-nur 1 sampai 3.
2.      Untuk mengetahui hukuman bagi pelaku zina yang telah menikah dan belum menikah.
3.      Untuk mengetahui hukmah menikah bagi orang yang berzina.
4.      Untuk mengetahui hikmah hukuman cambuk terhadap pelaku zina.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Makna dan Penjelasan Qur’an Surat An-nur 1 sampai 3

(1) تَذَكَّرُونَ لَّعَلَّكُمْ بَيِّنَاتٍ يَاتٍ آفِيهَا وَأَنزَلْنَا وَفَرَضْنَاهَا أَنزَلْنَاهَا سُورَةٌ
Artinya:
“ (ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya”.

Ini adalah --- وَفَرَضْنَاهَا أَنزَلْنَاهَا سُورَةٌ (satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan) dapat dibaca secara Takhfif, yaitu Faradhnâhâ, dapat pula dibaca secara Musyaddad, yaitu Farradhnâhâ. Dikatakan demikian karena banyaknya fardhu-fardhu atau kewajiban-kewajiban yang terkandung di dalamnya --- بَيِّنَاتٍ يَاتٍ آفِيهَا وَأَنزَلْنَا (dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas) yakni jelas dan gamblang maksud-maksudnya --- تَذَكَّرُونَ لَّعَلَّكُمْ (agar kamu selalu mengingatinya) asal kata Tadzakkarûna ialah Tatadzakkarûna, kemudian huruf Ta yang kedua diidghamkan kepada huruf Dzal, sehingga jadilah Tadzakkarûna, artinya mengambil pelajaran dari padanya.[1]

(2 )  رَأْفَةٌ  بِهِمَا تَأْخُذْكُم وَلَا ۖ جَلْدَةٍ مِائَةَ مِّنْهُمَا وَاحِدٍ كُلَّ فَاجْلِدُوا وَالزَّانِي الزَّانِيَة          طَائِفَةٌ عَذَابَهُمَا وَلْيَشْهَدْ ۖالْآخِرِ الْيَوْمِ وَ بِاللَّهِ تُؤْمِنُونَ كُنتُمْ إِن اللَّهِ دِينِ فِي                         .الْمُؤْمِنِينَ مِّنَ
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari   keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari            akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari          orang-orang yang beriman”.

وَالزَّانِي الزَّانِيَة (Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina) kedua-duanya bukan muhshan atau orang yang terpelihara dari berzina disebabkan telah kawin. Hadd bagi pelaku zina muhshan adalah dirajam, menurut keterangan dari Sunnah. Huruf Al yang memasuki kedua lafadz ini adalah Al Maushulah sekaligus sebagai Mubtada, mengingat kedudukan mubtada di sini mirip dengan Syarath, maka Khabarnya huruf Fa, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat berikutnya ---  جَلْدَةٍ مِائَةَ مِّنْهُمَا وَاحِدٍ كُلَّ فَاجْلِدُوا (maka deralah tiap-tiap seorang dari  keduanya seratus kali dera) yakni sebanyak seratus kali pukulan. Jika dikatakan  Jaladahu artinya ia memukul kulit seseorang; makna yang dimaksud adalah mendera. Kemudian ditambahkan hukuman pelaku zina yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunnah, yaitu harus diasingkan atau dibuang selama satu tahun penuh. Bagi hamba sahaya hanya dikenakan hukuman separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi ---  بِهِمَا تَأْخُذْكُم وَلَا
اللَّهِ دِينِ فِي رَأْفَةٌ (dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk  menjalankan agama Allah) yakni hukum-Nya, seumpamanya kalian melalaikan sesuatu dari had yang harus diterima keduanya --- ۖالْآخِرِ الْيَوْمِ وَ بِاللَّهِ تُؤْمِنُونَ كُنتُمْ إِن (jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat) yaitu hari berbangkit. Dalam ungkapan ayat ini terkandung anjuran untuk melakukan pengertian yang terkandung sebelum syarat. Ungkapan sebelum syarat tadi, yaitu kalimat “Dan janganlah belas kaihan kalian kepada keduanya, mencegah kalian untuk menjalankan hukum Allah”, merupakan jawab dari syarat, atau menunjukkan pengertian Jawab Syarat --- عَذَابَهُمَا وَلْيَشْهَدْ  (dan hendaklah hukuman mereka disaksikan) dalam pelaksanaan hukum deranya --- الْمُؤْمِنِينَ مِّنَ طَائِفَةٌ (oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman) menurut suatu pendapat para saksi itu cukup tiga orang saja; sedangkan menurut pendapat yang lain, bahwa saksi-saksi itu jumlahnya harus sama dengan para saksi perbuatan zina, yaitu sebanyak empat orang saksi laki-laki.[2]

(3). ۚ مُشْرِكٌ وْ أَ زَانٍ إِلَّا يَنكِحُهَا لَا وَالزَّانِيَةُ مُشْرِكَةً وْأَ زَانِيَةً إِلَّا يَنكِحُ لَا الزَّانِي                                                                   .الْمُؤْمِنِينَ عَلَى ذَٰلِكَ وَحُرِّمَ                        
            Artinya:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mu'min”.

يَنْكِحُ لَا الزَّانِي  (Laki-laki yang berzina tidak mengawini) ---  وَالزَّانِيَةُ مُشْرِكَةً أَوْ زَانِيَةً إِلَّا            مُشْرِكٌ أَوْ زَانٍ إِلَّا يَنْكِحُهَا لَا  (melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik) pasangan yang cocok buat masing-masingnya sebagaimana yang telah disebutkan tadi --- ذَٰلِكَ حُرِّمَ وَ (dan yang demikian itu diharamkan) menikahi perempuan-perempuan yang berzina --- الْمُؤْمِنِينَ عَلَى  (atas orang-orang yang mu'min) yang terpilih).[3]
            Ayat ini diturunkan tatkala orang-orang miskin dari kalangan sahabat Muhajirin berniat untuk mengawini para pelacur orang-orang musyrik, karena mereka orang kaya-kaya. Kaum Muhajirin yang miskin menyayangkan kekayaan yang dimilikinya itu akan dapat menanggung nafkah mereka. Karena itu dikatakan, bahwa pengharaman ini khusus bagi sahabat Muhajirin yang miskin tadi. Tetapi menurut pendapat yang lain mengatakan pengharaman ini bersifat umum dan menyeluruh.[4]

B.     Hukuman Bagi Pelaku Zina Terhadap Orang yang Sudah Menikah dan Belum Menikah
Ancaman hukuman bagi pelaku zina dapat dibedakan menjadi dua yaitu: seseorang yang muhshan (orang yang pernah menikah) dan ghairu muhshan (orang yang belum menikah). Terhadap pezina muhshan ancaman hukumannya adalah rajam yaitu dilempar dengan batu dalam ukuran sedang sampai mati, sedangkan terhadap yang ghairu muhshan ancamannya adalah dera 100 kali dan dibuang selama satu tahun.[5]
Hukuman dera 100 kali bagi pelaku zina yang bersifat ghairu muhshan merupakan firman Allah dalam surat An-nur ayat 2 sebagaimana yang telah dijabarkan di atas pada topik pembahasan tentang makna dan penjelasan Qur’an surat An-nur ayat 1 sampai 3. Adapun ancaman atau sanksi hukuman terhadap pelaku zina yang muhshan dalah rajam sampai mati. Ketentuan tentang hukuman rajam itu tidak merujuk kepada firman Allah tetapi berdasarkan kepada hadits Nabi.

C.    Hikmah Menikah Bagi Orang yang Berzina
Pada surat An-nur ayat 3 dijelaskan bahwa laki-laki pelaku zina tidak pantas menikah dengan seorang wanita yang menjaga kehormatannya dan wanita yang mulia, ia hanya pantas menikah dengan orang seperti dirinya, atau lebih jelek dari dirinya, seperti wanita nakal dan pelaku dosa, atau wanita musyrik penyembah berhala (sebagai pelajaran atas keburukan akhlak da perilakunya).[6]
Selanjutnya dijelaskan bahwa, wanita yang berzina yang berzina tidak pantas menikah dengan seorang laki-laki beriman yang menjaga kehormatannya, wanita seperti itu hanya pantas dinikahi oleh lelaki seperti dirinya atau lebih hina dari dirinya. seperti oleh laki-laki yang juga pelaku zina atau laki-laki musyrik yang kafir. Karena, jiwa-jiwa yang suci enggan untuk menikah dengan para pelaku dosa yang fasik.[7]
Imam Fakhrurrazi berpendapat bahwa sesungguhnya lelaki yang fasik dan kotor yang kerjanya hanya berzina dan berbuat fasik itu tidak ingin menikahi para wanita yag shalihah, ia hanya menginginkan wanita fasik yang kotor seperti dirinya atau wanita musyrik. Sedangkan bagi wanita fasik dan kotor itu, para lelaki yang shalih tidak ingin menikah dengan mereka. Para lelaki yang shalih itu lari dari mereka, yang menginginkan mereka hanya orang-orang yang berasal dari jenis mereka, yaitu orang-orang fasik dan musyrik. Ini terjadi pada umumya, sebagaimana dikatakan bahwa yang berbuat baik itu hanyalah seseorang yang bertaqwa walaupun terkadang orang yang tidak bertaqwa juga melakukan kebaikan, demikian juga dengan hal ini.[8]
D.    Hikmah Cambuk Bagi Pelaku Zina
Allah SWT berfirman, ۖالْآخِرِ الْيَوْمِ وَ بِاللَّهِ تُؤْمِنُونَ كُنتُمْ إِن maksudnya adalah kerjakanlah hal itu dan jalankanlah hukuman kepada siapa pun yang berzina. Hukumlah yang keras dengan hukuman itu tanpa menyakiti agar dia dan orang yang berbuat semacamnya jera.[9]
Perintah menjalankan hukuman di hadapan orang banyak terdapat dalam firman Allah,   الْمُؤْمِنِينَ مِّنَ طَائِفَةٌ عَذَابَهُمَا وَلْيَشْهَدْ ayat tersebut menjelaskan bahwa hal itu merupakan suatu hukuman bagi dua orang yang berzina. Jika mereka didera dihadapan orang banyak, hukuman tersebut lebih berpengaruh dan manjur sebagai suatu peringatan untuk membuat mereka jera. Karena sesungguhnya, dengan pelaksanaan hukuman seperti itu terdapat sebuah teguran keras, celaan dan terbukanya suatu kesalahan jika manusia dating menyaksikannya.[10]


[1] Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Al Gesindo, 2006), hlm. 1450.
[2] Ibid., hal. 1450-1451.
[3] Ibid., hal. 1451-1452.
[4] Ibid.
[5] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta:  Kencana, 2010), hlm. 280.
[6] Syaikh Yasir Ja’far, Kemaksiatan Penghancur Rumah Tangga, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008), hlm.     20.
[7] Ibid., hlm 21.
[8] Ibid., hlm 21-22.
[9] Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury, Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: Sygma Creative Media Crop, 2012), hal. 552.
[10] Ibid.

Makalah Peradilan Agama di Indonesia



PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Peradilan Agama , keberadaannya telah ada jauh sebelum kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Ia telah mengalami pasang surut baik dari segi penamaan, status dan kedudukan, maupun kewenangannya. Sampai pada masa Orde Baru, peradilan agama belum menjadi peradilan yang mandiri. Peradilan agama yang masih berada di bawah bayang-bayang kekuatan eksekutif.[1]
Reformasi berasal dari kata “re” dan “formasi”. “Re” yang berarti “kembali” dan “Formasi” yang berarti susunan. Reformasi berarti pembentukan atau penyusunan kembali.[2] Berdasarkan pengertian tersebut, reformasi sesungguhnya bisa bermakna perubahan atau pembaharuan menuju pada tatanan kehidupan yang lebih baik. Dalam arti pembaharuan, reformasi bisa dipadankan dengan beberapa kata dalam wacana Islam, yang secara substansi memiliki kesamaan dengan reformasi, yakni tajadid, yaitu membangun kembali dan islah, yaitu memperbaiki.[3]
Tahapan akhir dari babak sejarah bangsa Indonesia, yang sedang berjalan saat ini adalah Era Reformasi. Era Reformasi dimulai pada tanggal 20 Mei 1998, ketika demonstrasi mahasiswa di seluruh Indonesia yang menuntut dilakukannya reformasi di segala bidang untuk mengatasi kondisi bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis multi dimensi.[4]
Salah satu reformasi yang dituntut pada Era Reformasi ini adalah reformasi bidang hukum, termasuk dalam bidang peradilan yang telah terjadi di Indonesia selama ini. Lemahnya penegakan hukum dan munculnya berbagai isu tentang berbagai praktek yang tidak benar dalam pelaksanaan penegakan hukum dan keadilan di lembaga peradilan telah menyebabkan buruknya citra peradilan di mata sebahagian masyarakat Indonesia dan masyarakat Internasional.[5]
Seiring dengan hal itu, peradilan agamapun mengalami perubahan yang cukup signifikan, baik menyangkut status dan kedudukan, maupun kewenangannya, dengan mengikuti paradigma separation of power, status dan kedudukan Peradilan Agama kemudian dilepaskan dari baying-bayang eksekutif yakni Departemen Agama, untuk selanjutnya dimasukkan dalam satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung bersama dengan badan peradilan lainnya. Dari segi kewenangannyapun peradilan agama di era reformasi mendapatkan kewenangan baru, yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang; zakat, infaq, sedekah serta ekonomi syariah.[6]

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana penataan Peradilan Agama pada masa Reformasi ?
2.      Apakah dasar hukum dan kewenangan Peradilan Agama ?
3.      Bagaimana kedudukan Peradilan Agama dan UU No 35 Tahun 1999 dan UU No 4 Tahun 1974 ?
4.      Bagaimana eksistensi Peradilan Agama/Mahkamah Syariah pasca penyatu atapan ke Mahkamah Agung ?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui penataan Peradilan Agama di Indonesia pada masa reformasi.
2.      Untuk mengetahui dasar hukum dan kewenangan Peradilan Agama di Indonesia.
3.      Untuk mengetahui kedudukan Peradilan Agama dan UU No 35 Tahun 1999 dan UU No 4 Tahun 1974.
4.      Untuk mengetahui eksistensi Peradilan Agama/Mahkamah Syariah pasca penyatu atapan ke Mahkamah Agung.















BAB II
PEMBAHASAN
PERKEMBANGAN SINGKAT PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

A.    PENATAAN PENGADILAN AGAMA PADA MASA REFORMASI
Terdapat beberapa pengertian mengenai peradilan, namun pada kesempatan kali ini, penulis hanya menuliskan pengertian menurut Mahadi, peradilan didefinisikan sebagai “suatu proses yang berakhir dengan memberikan keadilan dalam suatu putusan”.[7] Jika kata peradilan disatukan dengan kata agama, maka pengertian peradilan agama adalah “kekuasaan Negara dalam hal memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu atar orang-orang yang Beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan”.[8]
Dalam kekuasaan kehakiman Indonesia, posisi badan Peradilan Agama di era reformasi sudah sejajar dengan badan-badan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung. Hal ini terjadi ketika tahun 1999 lahir Undang-Undang No 35 tentang perubahan atas Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.[9]
Pada era reformasi ini telah terjadi beberapa perubahan dan upaya untuk melakukan dan penataan Peradilan Agama.

1.      Penyatuatapan peradilan Agama ke bawah Mahkamah Agung
Gerakan reformasi, selain berhasil merespon hal-hal terkait dengan persoalan politik, juga telah berhasil merespon tuntutan atas pembenahan hukum dan lembaga peradilan. Pentingnya pembenahan hukum dan peradilan, mengingat pada masa Orde Baru banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan dan aparatur hukum, sehingga akibatnya hukum tidak bisa tegak karena peradilannya korup (judicial corruption). Karena itu, setengah gerakan reformasi berhasil, isu seputar indenpendensi kekuasaan kehakiman menggema.[10]
Penerapan peradilan satu atap di Indonesia, dimaksudkan untuk menjadikan sistem hukum sebagai subjek reformasi (varibel independent). Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa, hukum sebagai sarana yang didayagunakan sebagai alat untuk mempercepat evolusi.[11]
Upaya yang dilakukan dalam rangka reformasi di bidang hukum dan peradilan adalah keluarnya UU No 35 Tahun 1999 yang merubah beberapa pasal UUNo 14 Tahun 1970. Perubahan tersebut terutama menyangkut pengawasan dan pembinaan hakim yang diatur dalam UU No 14 Tahun 1970.[12]
UU No 14 Tahun 1970 menentukan bahwa badan-badan peradilan yang ada di Indonesia, secara teknis peradilan di bawah kekuasaan dan pengawasan serta pembinaan oleh Mahkamah Agung dan secara oraganisatoris, administrative dan financial berada di bawah Deptemen measing-masing. Selanjutnya, dalam UU khusus yang mengatur masing-masing lingkungan peradilan ditegaskan Departemen masing-masing yang dimaksud UU No 14 TAhun 1970 ini. Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah Departemen Kehakiman. Peradilan Agama berada di bawah Departemen Agama dan Peradilan militer berada di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan.[13]
Ketentuan tersebut di atas dirubah oleh UU No 35 Tahun 1999. Menurut UU ini seluruh urusan peradilan (teknis peradilan, organisator, administratif dan financial) semuanya berada di bawah kekuasaan, pengawasan dan pembinaan Mahkamah Agung. Dengan adanya ketentuan baru ini diharapkan hakim/lembaga peradilan dapat melaksanakan tugasnya menegakkan hukum dan keadilan lebih mandiri, bebas dari campur pihak-pihak di luar pengadilan, terutama oleh pihak eksekutif.[14]
Dengan adanya pemindahan kewenangan bidang empat hal yang disebutkan di atas berdasarkan UU No 4 Tahun 2004, maka pembinaan bidang teknis yustisial dan nonyustisial lembaga peradilan, telah berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Pemindahan kewenangan di bidang organisasi meliputi kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan dan struktur organisasi pada semua badan peradilan. Adapun yang dimaksud dengan pemindahan kewenangan di bidang administrasi meliputi kepegawaian, kekayaan Negara, keuangan, arsip, dan dokumen termasuk dari financial masing, masing instansi/departemen, beralih satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.[15]

B.     DASAR HUKUM DAN WEWENANG PERADILAN AGAMA
Pada Era Reformasi ini keberadaan Peradilan Agama selain didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya (pada Masa Orde Baru) juga terdapat beberapa peraturan Perundang-Undangan yang menjadi dasar hukum keberadaan Peradilan Agama atau kewnangan Peradilan Agama. Peraturan Perundang-Undangan tersebut adalah: (1) UU nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 tantang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, (3) UU Nomor 18 Tahun Tahun 2001 tentangPembentukan Mahkamah Syariah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, (4) Kepres RI Nomor 21 Tahun 2004 tentangPengalihan Organisasi, Administari dan Finansial di lingkungan Peradilan Umum,Tata Usaha Negara dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung, (5) Undang-Undang Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 1989 tenatang Peradilan Agama.[16]
Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Secara yuridis formal, yuridis Peradilan Agama diatur Islam. Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang menyelesaikan perkara; perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq dan sedekah. Akan tetapi, dengan diberlakukannya UU No 3 Tahun 2006, menandai lhirnya paradigm baru peradilan agama.[17]
Paradigma baru tersebut menjelaskan bahwa; “Peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat perncari keadilan yang beragama Islam mengenai ‘perkara tertentu’ sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Kata-kata “perkara tertentu” merupakan hasil perubahan terhadap kata “perkara perdata tertentu” sebagaimana yang disebut dalam UU No 7 Tahun 1989.
Dengan adanya penegasan tentang perluasan kewenangan peradilan agama tersebut, juga dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada peradilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu. Termasuk atas pelanggaran atas undang-undang tentang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan qanun.[18]
Meskipun UU No. 3 Tahun 2006 merupakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989. Akan tetapi, status peraturan perundang-undangan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Hal ini seperti dinyatakan dalam salah satu pasalnya, yakni; “Pada ssaat undang-undang ini mulai berlaku peraturan perundang-undang pelaksana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini”.[19]
Adapun tentang kewenangan peradilan agama secara spesifik diatur dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006. Pasal 49 huruf (a) ditentukan kewenangan pengadilan agama di bidang perkawinan. Adapun yang dimaksud dalam perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan UU mengenai perkawinan yang dilakukan menurut syariah.[20]

C.    KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA DAN UU NOMOR 35 TAHUN 1999 DAN UU NOMOR 4 TAHUN 2004
Di Era Reformasi, eksistensi Peradilan Agama mencapai puncak kekokohannya pada tahun 2001, saat disepakatinya perubahan ketiga UUD 1945 olehMajelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam Pasal 24 UUD 1945 hasil amandemen, secara ekspilit dinyatakan bahwa, lingkungan peradilan agama disebutkan sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia, bersama lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah agung.[21]
Sebagaimana yang telah dijabarkan pada pembahasan A dan B, dapat disimpulkan bahwa perjalanan peradilan agama begitu panjang dalam sejarah hukum dan peradilan di Indonesia, terakhir kalinya hal yang paling menggembirakan adalah pada tanggal 21 Maret 2006 telah disahkan UU No. 3 Tahun 2006, merupakan perubahan atasUU No. 7 Tahun 1989 tentangPeradilan Agama. Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tersebut, maka semakin kokohlah kekuasaan dan kewenangan peradilan agama.[22]
Dengan demikian, kedudukan peradilan agama di era reformasi ini selain sudah semakin kuat kedudukannya juga telah mengalami pengembangan kelembagaan, salah satunya menyangkut pengembangan pengadilan agama di Nanggroe Aceh Darussalam.
Selain itu, secara yuridis formal tentang kedudukan peradilan agama pada era reformasi disebutkan dalam UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU NO. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa; “Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Dan pengadilan tinggi berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi”.[23]
Hal lain yang penting dalam kedudukan peradilan agama di era reformasi adalah dalam hal pembinaan. Dalam UU No. 3 Tahun 2006 disebutkan, bahwa pembinaan teknis peradilan, oraganisasi, administrasi, dan financial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pembinaan teknis ini lebih mengacu pada penerapan hukum acara dalam peradilan yang bersangkutan dan penerapan segala peraturan yang berlaku menyangkut suatu perkara tertentu.[24]
D.    EKSISTENSI PERADILAN AGAMA/MAHKAMAH SYARIAH PASCA PENYATUATAPAN KE MAHKAMAH AGUNG
Penyatuatapan Peradilan Agama adalah bermakna penyatuan pengurusan (pengawasan dan pembinaan) segala urusan peradilan Agama ke bawah Mahkamah Agung. Dengan adanya penyatuatapan ini, maka urusan pembinaan dan teknis peradilan, urusan organisasi, administrasi dan financial Peradilan Agama menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Penyatuatapan ini juga akan memberikan Peradilan Agama kedudukan yang sejajar dan sederajat dengan peradilan lainnya.
            Sesuai dengan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang terakhir telah diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di mana ditetapkan empat lingkungan Peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.
            Semula berdasarkan berdarkan PP No. 29 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di provinsi Aceh yang kemudian diubah oleh PP No. 45 Tahun 1957 tentangPembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura, nama Pengadilan Agama adalah Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama, sedang untuk Pengadilan Tinggi Agama adalah Mahkamah Syariah Provinsi.[25]
            Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah provinsi Aceh sekarang, merupakan lembaga peradilan yang menurut UU No. 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dibentuk untuk “menjalankan Peradilan Syariat Islam di Provinsi NAD sebagai bagian dari Sistem PEradilan Nasional”. Undang-Undang ini menyatakan bahwa kewenangan lembaga baru ini didasarkan pada syariat Islam dalam sistem hukum nasional yang akan diatur dalam qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-undang ini juga menegaskan bahwa kewenangan ini hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.[26]
            Akhirnya dapat disimpulkan bahwa eksistensi Peradilan Agama pasca Penyatuatapan ini, menjadi lebih kuat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bila selama ini Peradilan Agama masih merasakan diskriminasi dan kekurangan disbanding peradilan-peradilan lain, maka pada era reformasi ini diharapkan Peradilan Agama dapat berkembang sejalan dan sama dengan peradilan-peradilan lain, yang sama-sama berada di bawah satu atap yaitu Mahkamah Agung.[27]

BAB III
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Pada masa Era Reformasi telah terjadi beberapa upaya untuk melakukan dan penataan Peradilan Agama. Diantaranya adalah penyatuatapan peradilan Agama ke bawah Mahkamah Agung. Penyatuatapan ini ditegaskan dan diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Peradilan Agama sekarang memiliki kewenangan di bidang perkawinan. Kewarisan, wasiat, hibah, infak, shadakah, zakat dan ekonomi Islam.
Kewenangan Pengadilan Agama di lingkungan Peradilan Agama berdasarkan Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 yang disahkan pada Tahun 2006 adalah meliputi: (1) Perkawinan, (2) Kewarisan,Wasiat dan Hibah, (3) Infaq dan Shadakah dan (4) Ekonomi Islam, selain itu kewenangan Mahkamah Syari’ah yang khusus di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam meliputi: (a) Ahwal as-Syakhsiyyah, (b) Mu’amalah dan (4) Jinayah.
Pasal 3 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 menegaskan bahwa semua peradilan yang ada di seluruh Republik Indonesia adalah Peradilan Negara. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut maka Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang kuat. Peradilan Agama diakui sebagai salah satu lingkungan Peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Eksistensi Peradilan Agama pasca penyatuatapan  menjadi lebih kuat dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bila selama ini, Peradilan Agama merasakan diskriminasi dan kekurangan disbanding peradilan-peradilan lain, maka pada era reformasi ini diharapkan Peradilan Agama dapat berkembang sejalan dan sama dengan peradilan-peradilan lain, yang sama-sama berada di bawah satu atap yaitu Mahkamah Agung.
B.     SARAN
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangatlah jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat mengarapkan kritik/saran yang membangung dari pembaca. Terimakasih.












DAFTAR PUSTAKA
Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Kencana,            2008.
Asasriwarmi, Peradilan Agama di Indonesia, Padang: Hayfa Press, 2008.
Daud, Mohammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.
Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.






[1] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.13.
[2] Ibid, hal. 39.
[3] Ibid, hal. 40.
[4] Asasriwarmi, Peradilan Agama di Indonesia, (Padang: Hayfa Press,2008), hal 83.
[5] Ibid.
[6] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 14.
[7] Ibid, hal. 252.
[8] Ibid, hal 254.
[9] Ibid, hal. 250.
[10] Ibid, hal. 292.
[11] Ibid, hal. 293.
[12] Asasriwarmi, Peradilan Agama di Indonesia, (Padang: Hayfa Press,2008), hal. 84.
[13] Ibid, hal. 84.
[14] Ibid, hal. 85.
[15] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.296.
[16] Asasriwarmi, Peradilan Agama di Indonesia, (Padang: Hayfa Press,2008), hal. 88.
[17] Ibid, hal. 343.
[18] Ibid.
[19] Ibid, hal. 343-344.
[20] Ibid, hal. 344-345.
[21] Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 313.
[22] Ibid.
[23] Ibid, hal. 314.
[24] Ibid, hal. 315.
[25] Ibid, hal. 166.
[26] Ibid, hal. 166-167.
[27] Asasriwarmi, Peradilan Agama di Indonesia, (Padang: Hayfa Press,2008), hal. 91