Senin, 16 November 2015

Hukum Perdata Islam pembahasan wasiat



WASIAT
A.    Penjelasan
Secara etimologi, wasiat berarti menjadikan, menaruh kasih saying, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Secara umum kata wasiat disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 9 kali. Menurut para ahli hukum Islam, mengemukakan bahwa wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu, baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara sukarela tanpaimbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut (menurut para hukum Islam di kalangan Imam Hambali).[1]
Dalam syariat Islam, sumber hukum yang mengatur tentang wasiat dapat ditemui dalam Al-Quran surah al-Baqarah ayat 180, Allah mengemukakan apabila seseorang diantara umat manusia sudah ada tanda-tanda kedatangan maut, sedangkan ia mempunyai harta banyak, maka ada kewajiban untuk berwasiat terutama kepada ibu bapak dan karib kerabatnya.[2]
Wasiat merupakan suatu perbuatan hukum, sehingga mempunyai ketentuan dalam pelaksanaannya. Berikut penjabaran ketentuan-ketentuan dalam wasiat:
1.      Pemberi Wasiat
Pemberi wasiat diisyaratkan merupakan orang yang telah dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum dan merdeka (tidak dipaksa), oleh karena itu orang yang dipaksa dan orang yang tidak sehat pikirannya tidak sah wasiatnya. Hal ini sesuai dengan pasal 194 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.
2.      Penerima Wasiat
Wasiat dapat ditentukan terhadap orang-orang tertentu, baik kepada ahli waris maupun bukan ahli waris. Wasiat juga dapat ditujukan kepada yayasan sosial dan segala bentuk yang berbentuk kegiatan yang tidak bertentangan dengan Islam.
3.      Harta atau Barang yang Diwasiatkan
Harta atau barang yang diwasiatkan bukanlah merupakan harta atau barang yang belum statusnya. Hendaknya mewasiatkan harta atau barang yang mempunyai nilai yang jelas serta dapat bermanfaat bagi penerima wasiat. Hal ini sesuai dengan pasal 200 Kompilasi Hukum Islam.
4.      Ijab-Qabul
Ijab-qabul adalah serah terima antara pemberi wasiat denganpenerima wasiat yang statusnya akan berlaku setelah wafatnya orang yang mewasiatkan harta tau barang yang diwasiatkan melalui lafaz yang jelas akan harta atau barang yang diwasiatkan, baik secara lisan maupun tulisan, yang kemudian disaksikan oleh dua orang saksi. Hal ini sesuai dengan pasal 195 dan 196 Kompilasi Hukum Islam.
Ketentuan wasiat telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diintruksikan oleh Presiden Republik Indonesia dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk disebarluaskan.  Sebagaimana yang tercantum dalam KHI Pasal 171 huruf f, menyebutkan:
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Pada Kompilasi Hukum Islam, ketentuan-ketentuan tentang wasiat diatur secara rinci pada BAB-V Pasal 194-Pasal 209.  
Ketentuan mengenai hal wasiat juga diatur dalam Kewenangan Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Penjelasan dari Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa:
Yang dimaksud denga wasiat adalah perbuatan seseorang memberikan suatu bendaatau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.[3]

Kesimpulan:
·         Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain untuk memiliki sesuatu hak kebendaan atau manfaat tanpa mengharapkan imbalan yang ditangguhkan sampai terjadinya kematian terhadap orang yang member wasiat tersebut.
·         Dalam syariat Islam, sumber hukum Islam yang mengatur tentang wasiat adalah al-Quran, Hadits Rasulullah SAW dan Ijma’ para ulama.
·         Mengenai hal wasiat telah dibentuk ketentuan pada Kompilasi Hukum Islam yang merupakan Intruksi Presiden Republik Indonesia Tahun 1991 pada BAB V pasal 194-pasal 209.
·         Disamping itu, mengenai sengketa wasiat merupakan kewenangan Peradilan Agama Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
·         Antara Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam mengartikan wasiat tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa terlah terjadinya perubahaan terhadap ketentuan wasiat ini.


[1] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 149.
[2] Ibid., hal. 152.
[3] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 247.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar